Translate

Minggu, 16 Februari 2014

MUHAMMAD NATSIR (Tokoh Pemikiran Pembaharuan Islam Di Indonesia)

Artikel Perkembangan Pemikiran Modern
Oleh  Zulfitra AJ
MUHAMMAD NATSIR
(Tokoh Pemikiran Pembaharuan Islam Di Indonesia)

A.   Biografi

Mohammad Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah.[1] Ia memiliki 3 orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya merupakan seorang ulama. Ia kelak menjadi pemangku adat untuk kaumnya yang berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro Panjang.
Natsir mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun, kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Padang. Setelah beberapa bulan, ia pindah lagi ke Solok dan dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa. Selain belajar di HIS di Solok pada siang hari, ia juga belajar ilmu agama Islam di Madrasah Diniyah pada malam hari.[2] Tiga tahun kemudian, ia kembali pindah ke HIS di Padang bersama kakaknya. Pada tahun 1923, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond.[3] Setelah lulus dari MULO, ia pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada tahun 1930. Dari tahun 1928 sampai 1932, ia menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung.[4] Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan dialektika. Kemudian pada tahun 1932, Natsir berguru padaAhmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam.
Pada 20 Oktober 1934, Natsir menikah dengan Nurnahar di Bandung. Dari pernikahan tersebut, Natsir dikaruniai enam anak. Natsir juga diketahui menguasai berbagai bahasa, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab, dan Esperanto. Ia meninggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta, dan dimakamkan sehari kemudian.[5]

B.   Karier dan Kehidupan
Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim; selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942.[6] Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.[7]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menjadi perdana menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan.[8] Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen.[9] Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950.[10] Namun ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi.[11] Juga, Natsir mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa. Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri Natsir, Soekarno selaku presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk menjatuhkan Kabinet Natsir, dan tidak mendukung kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.
Selama era demokrasi terpimpin di Indonesia, ia terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia setelah meninggalkan Pulau Jawa; PRRI yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai pemberontakan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.
Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan.
Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisi kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri.[12] Soeharto menganggap orang yang mengkritik dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut menandatangani Petisi tersebut bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, dan lain-lain. Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang tidak bisa diikutinya.[13] Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai, terutama partai Islam. Apalagi Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi. Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto. [14]
C.   Pemikiran
Mohammad Natsir tokoh Islam kontemporer dunia Islam, mujahid yang menerjuni pertarungan sengit di setiap jenjang, dan politikus piawai. Ketika memegang jabatan-jabatan penting di negara, ia mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai system pemerintahan Indonesia dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam dari kalangan penyeri sekulerisme, komunisme, atau para kaki tangan barat maupun timur. Pidato berjudul “Pilihlah Satu dari Dua Jalan : Islam atau Atheis” yang ia sampaikan di parlemen Indonesia dan dipublikasikan majalah Al Muslimun mempunyai pengaruh besar pada anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.[15]
Natsir mengkritik keras pandangan Soekarno tentang pemisahan agama dengan negara. Natsir meyakini perlunya membangun negara yang diinspirasikan oleh nilai- nilai Islam. Orang Islam, kata Natsir, mempunyai falsafah hidup dan idiologi sebagaimana agama atau paham yang lain, dan falsafah serta idieologi itu dapat disimpulkan dalam satu kalimat al-Qur’an :
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS Addzaryiat : 56). Beliau mengatakan “Oleh karena itu segala aktivitas muslim untuk berbangsa dan bernegara harus ditujukan untuk pengabdian kepada Allah. Yang tentunya berbeda dengan tujuan mereka yang berpaham netral agama. Untuk itu, Tuhan memberi berbagai macam aturan mengenai hubungan dengan Tuhan dan aturan menegenai hubungan di antara sesama makhluk yang berupa kaidah-kaidah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban. Itulah sebenarnya yang oleh orang sekarang disebut  urusan kenegaraan. Yang orang sering lupa ialah bahwa pengertian agama menurut Islam bukanlah hanya urusan ibadatsaja, melainkan meliputi semua kaidah dan hudud dalam muamalah dalam masyarakat. Dan semuanya sudah tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah”.[16] Untuk menjaga agar segala peraturan itu dilaksanakan dengan baik, diperlukan suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, karena sebagaimana buku undang-undang yang lain, Al-Qur’an pun tak dapat berbuat apapun dengan sendirinya.
Sebagai contoh, Islam mewajibkan agar orang Islam membayar zakat sebagaimana mestinya. Bagaimana undang-undang kemasyarakatan ini mungkin berlaku dengan beres, kalau tidak ada pemerintah yang mengawasi berlakunya? Islam melarang zina, judi, minum arak yang merupakan penyakit masyarakat yang menggerokoti sendi-sendi pergaulan hidup. Bagaimana larangan itu dapat dilaksanakan kalau negara bersikap masa bodoh saja dengan alasan negara netral agama?.Ringkasnya, kata Natsir, “Bagi kita kaum Muslimin, Negara bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan Persatuan Agama dan Negara kita maksudkan, bukanlah bahwa Agamaitu cukup sekedar dimasuk-masukkan saja disana sini kepada Negara itu. Bukan begitu! Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan, satu intergreered deel dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan kehidupan akhiran kelak.[17]
Dalam dakwah dan perjuangannya membangun bangsa, Natsir selalu menitik beratkan perjuangan melalui pendidikan. Ia mengatakan dunia pendidikan adalah bagian dari kekuatan Umat Islam yang harus senantiasa dijaga, dipikirkan dan diberdayakan. Ada tiga kekuatan untuk memberdayakan umat, yaitu masjid, kampus, dan pesantren. Ini adalah basis pendidikan untuk membangun kekuatan Islam, maka perlu diperhatikan dan dikembangkan. [18]
Kaitannya dengan fungsi dan tujuan Pendidikan Islam, Natsir memiliki enam rumusan penting. Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana membimbing manusia agar dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna.  Kedua, pendidikan diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak yang sempurna. Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana menghasilkan menusia jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ). Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt. Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilakunya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Keenam, pendidikan harus benar-benar dapat meningkatkan sifat-sifat kemanusiaan bukan sebaliknya meniadakan atau berperilaku menyesatkan yang dapat merugikan orang lain dan lingkungan.[19]
Pada intinya, Pendidikan islam seharusnya tidak perlu memandang (dikotomi) antara keilmuan agama dan umum. Semestinya pendidikan Islam harus bisa mengintegralakan dan mensejajarkan keilmuan tersebut, karena bagi Natsir semua ilmu pengetahuan tidak ada yang berdiri sendiri, namun semua dari Tuhan. Selain itu, dalam proses pendidikan, pendidikan tauhid dan akhlak bagi anak merupakan sesuatu yang sangat pundamental untuk dikembangkan. Hidup merupakan suatu perjalanan untuk mendekatkan diri dan tunduk patuh terhadap perintah Allah SWT, maka itu lah yang harus menjadi tujuan dasar dari pendidikan islam.[20]
D.   Karya dan Buku

Sebagai seorang pemikir dan juga seorang politikus, Muhammad Natsir banyak mengarang buku-buku sehingga dia juga dikenal sebagai seorang guru ataupun pendidik. Diantaranya buku-buku karangannya banyak yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, bukunya yang paling terkenal adalah  Fiqhud Da’wah dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih salah Satu dari Dua Jalan. Berikut beberapa karya Muhammad Natsir[21] :
·         Shaum (Puasa)
·         Al Maratul Muslimah wa Huququha (Hak-hak Wanita Muslimah)
·         Al Hadharah Al Islamiyah (Peradaban Islam)
·         Al Bina’ Wastahl Anqadh (Membangun di Tengah Reruntuhan)
·         At Tarkib At Thabaqi lil Mujtama’ (Struktur Sosial Masyarakat)
·         Ats Tsaurah Al Indonesia (Revolusi Indonesia)
·         Qadhiyatu Falisthin (Masalah Palestina)
·         Hal Yumkinu Fashlud Din ‘Anis Siyasah? (Mungkinkah Agama dipisahkan dari Politik?)
·         Ishlamul Islam Fil Silmi Al ‘Alami (Sumbangsih Islam pada Perdamaian Internasional)
·         Al Mal Was Sulthan Wal  Amanatun (Harta dan Kekuasaan adalah Amanah)
·         Ibdzarul Budzur (Taburlah Benih)
·         Al Islam Wan Nashraniyah Fi Indonesia (Islam dan Kristen di Indonesia)
·         Thuba lil Ghuraba (Berbahagialah Orang-orang yang Terasing)
·         Al Yadul Lati Lam Yataqabbalaha Ahad (Tangan yang Belum Dicium oleh Seorang pun)
·         Al Iman Mashdarul Quwwah Azh Zhahirah Wal Bathinah (Iman Sumber Kekuatan Lahir Batin)
·         Al Khaufu Wal Isti’mar (Ketakutan dan Penjajahan)
·         Hina La Yustajabud Du’a (Ketika Doa Tidak Dikabulkan)
·         Ad Dinu Wal Akhlak (Agama dan Moral)
·         Ad Da’watu Wal Inma (Dakwah dan Perkembangan)
·         Khuthbah Idul Fithri
·         Ma’al Ilam Nahwa Indunisia Al Mustaqbalah (Bersama Islam menuju Indonesia Masa Depan)
·         Tahta Zhilalir Risalah (Di Bawah Naungan Risalah)
·         Zayyinud Dunya bi A’malikum Wa Adhiul ‘Ashra bi Imanikum (Hiasi Dunia dengan Amal Kalian dan Sinari Masa dengan Iman Kalian)
·         Ahyu Ruhul Mitsaliyah Wat Tadhiyah Marratan Ukhra (Hidupkan Kembali Semangat Keteladanan dan Pengorbanan)
·         Al Islam Wa Hurriyatul Fikr (Islam dan Kebebasan Berfikir)
·         Al Islam Ka Asasid Daulah (Islam Sebagai Dasar Negara)
·         Islam sebagai Idiologi
·         Al Qalaqur Ruhi Fi Dirayil Gharb (Kegelisahan Batin di Negeri-negeri Barat)
·         Al Masjid wal Qur’an Wal Indhibath (Masjid, Qur’an, dan Kedisiplinan)
·         Ats Tsaqafah Al Islamiah

E.   Kesimpulan

Muhammad Natsir merupakan salah satu tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, pemikirannya yang paling terkenal adalah tentang Ideologi dasar Negara, menurutnya Islam merupakan sebuah agama sangat sempurna dan multifungsional dengan Al-Qur’an sebagai sumber utamanya. Jadi akan sangat tepat jika Islam dijadikan Dasar Negara Indonesia yang mayoritasnya adalah Muslim. Menurutnya, hanya ada dua jalan bagi masyarakat Indonesia yaitu memilih Islam yang artinya menjadikan Islam sebagai Ideologi Indonesia ataupun memisahkan agama dan Negara yang berarti memilih Atheis
Dalam bidang pendidikan beliau mengemukakan agar tidak ada pemisahan antara Ilmu umum dan Ilmu Agama, kedua pengetahuan tersebut haruslah disatukan dan disejajarkan karena menurutnya tidak ada suatu ilmu yang bisa berdiri sendiri.



[1] Luth, Thohir (1999). M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani, hal. 21-23
[2] ibid.
[3] Dzulfikriddin, M. (2010). Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia (dalam bahasa Indonesian). Bandung: Mizan, hal. 19-20
[4] Luth, Thohir (1999)…, hal. 23-24
[5] Ibid. hal. 27
[6] Luth, Thohir (1999)…, hal. 23-24
[7] Noer, Deliar (2012). In Jaap Erkelens. Mohammad Hatta:Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 155
[8] Fadillah, Ramadhian (April 2013). "Mengenang M Natsir, ulama besar dan sebenar-benarnya jihad". Dalam Merdeka.
[9] Luth, Thohir (1999)…, hal. 24-25
[10] Noer, Deliar (2012)…, hal. 124-128
[12] Luth, Thohir (1999)…, hal. 25-26
[13] Fadillah, Ramadhian (April 2013)…
[14] , Deliar (2012)…, hal. 169-171
[15] Hasanalbanna.com
[16] Supardi (2006) Konsep Negara Menurut Mohammad Natsir Dan Upaya Mewujudkannya Di Indonesia (1928 – 1959). Skripsi
[17] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16149/5/Chapter%20I.pdf.Pemikiran Politik Natsir.
[18] Nasar, M. Fuad (Desember 2009) “Profil Pahlawan Kemerdekaan Nasional”, dalam Jurnal Ikhlas Beramal, hal. 29
[19] Nata, Abuddin (1995) Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Gaya Media Pratama, hal. 81
[20] http://NGOPI.COM%20%20Telaah%20Pemikiran%20Muhammad%20Natsir.htm
[21] Hasanalbanna.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar