Artikel Perkembangan Pemikiran
Modern
Oleh Zulfitra AJ
MUHAMMAD
NATSIR
(Tokoh Pemikiran Pembaharuan Islam Di Indonesia)
(Tokoh Pemikiran Pembaharuan Islam Di Indonesia)
A.
Biografi
Mohammad Natsir
dilahirkan di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 dari
pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah.[1] Ia memiliki 3 orang saudara kandung,
masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Jabatan terakhir ayahnya
adalah sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya
merupakan seorang ulama. Ia kelak menjadi pemangku adat untuk kaumnya yang
berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk
Sinaro Panjang.
Natsir mulai
mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau
selama dua tahun, kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
di Padang.
Setelah beberapa bulan, ia pindah lagi ke Solok dan
dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa. Selain belajar di HIS di
Solok pada siang hari, ia juga belajar ilmu agama Islam di
Madrasah Diniyah pada malam hari.[2] Tiga tahun kemudian, ia kembali pindah
ke HIS di Padang bersama kakaknya. Pada tahun 1923, ia melanjutkan
pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische
Pavinderij dan Jong Islamieten Bond.[3] Setelah lulus dari MULO, ia pindah ke Bandung untuk
belajar di Algemeene Middelbare School (AMS)
hingga tamat pada tahun 1930. Dari tahun 1928 sampai 1932, ia menjadi
ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung.[4] Ia juga menjadi pengajar setelah
memperoleh pelatihan guru selama
dua tahun di perguruan tinggi.
Ia yang telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya
juga memperdalam ilmu agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam,
dan dialektika.
Kemudian pada tahun 1932,
Natsir berguru padaAhmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi
Islam Persatuan Islam.
Pada 20 Oktober
1934, Natsir menikah dengan Nurnahar di Bandung. Dari pernikahan tersebut,
Natsir dikaruniai enam anak. Natsir
juga diketahui menguasai berbagai bahasa, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab,
dan Esperanto.
Ia meninggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta,
dan dimakamkan sehari kemudian.[5]
B.
Karier
dan Kehidupan
Natsir banyak
bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim;
selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang
hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai
Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942.[6] Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro
Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia
bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai
salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada
tahun 1960.[7]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat.
Sebelum menjadi perdana
menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan.[8] Pada tanggal 3 April 1950, ia
mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen.[9] Mohammad
Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang
dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa
Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950.[10] Namun ia mengundurkan diri dari
jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Soekarno,
Soekarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir
menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat
negatif sekularisasi.[11]
Juga, Natsir mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan
kesejahteraan di luar Pulau Jawa. Menurut Hatta,
sebelum pengunduran diri Natsir, Soekarno selaku presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terus mendesak Manai Sophiaan
serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk menjatuhkan Kabinet
Natsir, dan tidak mendukung kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh
Natsir dan Hatta.
Selama era demokrasi terpimpin di Indonesia, ia terlibat dalam
pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia setelah
meninggalkan Pulau Jawa; PRRI yang menuntut adanya otonomi
daerah yang lebih luas disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai pemberontakan.
Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964, dan
dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.
Setelah
dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi
Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil
Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat
Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris,
dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan.
Di era Orde Baru,
ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisi
kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia
dilarang pergi ke luar negeri.[12] Soeharto menganggap orang yang mengkritik
dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut menandatangani Petisi tersebut
bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin,
dan lain-lain. Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang
tidak bisa diikutinya.[13] Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai,
terutama partai Islam. Apalagi Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah
pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi. Padahal, badan intel inilah yang
meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto. [14]
C. Pemikiran
Mohammad Natsir tokoh Islam kontemporer dunia Islam,
mujahid yang menerjuni pertarungan sengit di setiap jenjang, dan politikus
piawai. Ketika memegang jabatan-jabatan penting di negara, ia mencurahkan
segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai system pemerintahan Indonesia
dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam dari kalangan penyeri
sekulerisme, komunisme, atau para kaki tangan barat maupun timur. Pidato
berjudul “Pilihlah Satu dari Dua Jalan : Islam atau Atheis” yang ia sampaikan
di parlemen Indonesia dan dipublikasikan majalah Al Muslimun mempunyai pengaruh
besar pada anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.[15]
Natsir
mengkritik keras pandangan Soekarno tentang pemisahan agama dengan negara.
Natsir meyakini perlunya membangun negara yang diinspirasikan oleh nilai- nilai
Islam. Orang Islam, kata Natsir, mempunyai falsafah hidup dan idiologi
sebagaimana agama atau paham yang lain, dan falsafah serta idieologi itu dapat
disimpulkan dalam satu kalimat al-Qur’an :
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS Addzaryiat : 56). Beliau mengatakan “Oleh karena itu segala aktivitas muslim untuk berbangsa dan bernegara harus ditujukan untuk pengabdian kepada Allah. Yang tentunya berbeda dengan tujuan mereka yang berpaham netral agama. Untuk itu, Tuhan memberi berbagai macam aturan mengenai hubungan dengan Tuhan dan aturan menegenai hubungan di antara sesama makhluk yang berupa kaidah-kaidah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban. Itulah sebenarnya yang oleh orang sekarang disebut urusan kenegaraan. Yang orang sering lupa ialah bahwa pengertian agama menurut Islam bukanlah hanya urusan ibadatsaja, melainkan meliputi semua kaidah dan hudud dalam muamalah dalam masyarakat. Dan semuanya sudah tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah”.[16] Untuk menjaga agar segala peraturan itu dilaksanakan dengan baik, diperlukan suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, karena sebagaimana buku undang-undang yang lain, Al-Qur’an pun tak dapat berbuat apapun dengan sendirinya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS Addzaryiat : 56). Beliau mengatakan “Oleh karena itu segala aktivitas muslim untuk berbangsa dan bernegara harus ditujukan untuk pengabdian kepada Allah. Yang tentunya berbeda dengan tujuan mereka yang berpaham netral agama. Untuk itu, Tuhan memberi berbagai macam aturan mengenai hubungan dengan Tuhan dan aturan menegenai hubungan di antara sesama makhluk yang berupa kaidah-kaidah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban. Itulah sebenarnya yang oleh orang sekarang disebut urusan kenegaraan. Yang orang sering lupa ialah bahwa pengertian agama menurut Islam bukanlah hanya urusan ibadatsaja, melainkan meliputi semua kaidah dan hudud dalam muamalah dalam masyarakat. Dan semuanya sudah tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah”.[16] Untuk menjaga agar segala peraturan itu dilaksanakan dengan baik, diperlukan suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, karena sebagaimana buku undang-undang yang lain, Al-Qur’an pun tak dapat berbuat apapun dengan sendirinya.
Sebagai
contoh, Islam mewajibkan agar orang Islam membayar zakat sebagaimana mestinya.
Bagaimana undang-undang kemasyarakatan ini mungkin berlaku dengan beres, kalau
tidak ada pemerintah yang mengawasi berlakunya? Islam melarang zina, judi,
minum arak yang merupakan penyakit masyarakat yang menggerokoti sendi-sendi
pergaulan hidup. Bagaimana larangan itu dapat dilaksanakan kalau negara
bersikap masa bodoh saja dengan alasan negara netral agama?.Ringkasnya, kata
Natsir, “Bagi kita kaum Muslimin, Negara bukanlah suatu badan yang
tersendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan Persatuan Agama dan Negara kita
maksudkan, bukanlah bahwa Agamaitu cukup sekedar dimasuk-masukkan saja disana sini
kepada Negara itu. Bukan begitu! Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat.
Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang
tidak dapat dipisahkan, satu intergreered deel dari Islam. Yang menjadi
tujuan ialah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan
dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai
anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana
ini, ataupun yang berhubungan kehidupan akhiran kelak.[17]
Dalam dakwah dan perjuangannya
membangun bangsa, Natsir selalu menitik beratkan perjuangan melalui pendidikan. Ia mengatakan dunia pendidikan
adalah bagian dari kekuatan Umat Islam yang harus senantiasa dijaga, dipikirkan
dan diberdayakan. Ada tiga kekuatan untuk memberdayakan umat, yaitu masjid,
kampus, dan pesantren. Ini adalah basis pendidikan untuk membangun kekuatan
Islam, maka perlu diperhatikan dan dikembangkan. [18]
Kaitannya dengan fungsi dan tujuan
Pendidikan Islam, Natsir memiliki enam rumusan penting. Pertama,
pendidikan harus berperan sebagai sarana membimbing manusia agar dapat mencapai
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna. Kedua,
pendidikan diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat
kemanusiaan dengan mencapai akhlak yang sempurna. Ketiga,
pendidikan harus berperan sebagai sarana menghasilkan menusia jujur dan benar (
bukan pribadi yang hipokrit ). Keempat, pendidikan agar berperan
membawa manusia mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt. Kelima,
pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilakunya selalu
menjadi rahmat bagi seluruh alam. Keenam, pendidikan harus
benar-benar dapat meningkatkan sifat-sifat kemanusiaan bukan sebaliknya
meniadakan atau berperilaku menyesatkan yang dapat merugikan orang lain dan
lingkungan.[19]
Pada
intinya, Pendidikan islam seharusnya tidak perlu memandang (dikotomi) antara
keilmuan agama dan umum. Semestinya pendidikan Islam harus bisa
mengintegralakan dan mensejajarkan keilmuan tersebut, karena bagi Natsir semua
ilmu pengetahuan tidak ada yang berdiri sendiri, namun semua dari Tuhan. Selain
itu, dalam proses pendidikan, pendidikan tauhid dan akhlak bagi anak merupakan
sesuatu yang sangat pundamental untuk dikembangkan. Hidup merupakan suatu
perjalanan untuk mendekatkan diri dan tunduk patuh terhadap perintah Allah SWT,
maka itu lah yang harus menjadi tujuan dasar dari pendidikan islam.[20]
D.
Karya
dan Buku
Sebagai seorang
pemikir dan juga seorang politikus, Muhammad Natsir banyak mengarang buku-buku
sehingga dia juga dikenal sebagai seorang guru ataupun pendidik. Diantaranya
buku-buku karangannya banyak yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab,
bukunya yang paling terkenal adalah Fiqhud Da’wah dan Ikhtaru
Ahadas Sabilain (Pilih salah Satu dari Dua Jalan. Berikut beberapa karya
Muhammad Natsir[21] :
·
Shaum (Puasa)
·
Al Maratul Muslimah wa Huququha (Hak-hak Wanita Muslimah)
·
Al Hadharah Al Islamiyah
(Peradaban Islam)
·
Al Bina’ Wastahl Anqadh
(Membangun di Tengah Reruntuhan)
·
At Tarkib At Thabaqi lil Mujtama’ (Struktur Sosial Masyarakat)
·
Ats Tsaurah Al Indonesia
(Revolusi Indonesia)
·
Qadhiyatu Falisthin
(Masalah Palestina)
·
Hal Yumkinu Fashlud Din ‘Anis Siyasah? (Mungkinkah Agama dipisahkan dari Politik?)
·
Ishlamul Islam Fil Silmi Al ‘Alami (Sumbangsih Islam pada Perdamaian Internasional)
·
Al Mal Was Sulthan Wal Amanatun (Harta dan Kekuasaan adalah Amanah)
·
Ibdzarul Budzur
(Taburlah Benih)
·
Al Islam Wan Nashraniyah Fi Indonesia (Islam dan Kristen di Indonesia)
·
Thuba lil Ghuraba
(Berbahagialah Orang-orang yang Terasing)
·
Al Yadul Lati Lam Yataqabbalaha Ahad (Tangan yang Belum Dicium oleh Seorang pun)
·
Al Iman Mashdarul Quwwah Azh Zhahirah Wal Bathinah (Iman Sumber Kekuatan Lahir Batin)
·
Al Khaufu Wal Isti’mar
(Ketakutan dan Penjajahan)
·
Hina La Yustajabud Du’a
(Ketika Doa Tidak Dikabulkan)
·
Ad Dinu Wal Akhlak
(Agama dan Moral)
·
Ad Da’watu Wal Inma
(Dakwah dan Perkembangan)
·
Khuthbah Idul Fithri
·
Ma’al Ilam Nahwa Indunisia Al Mustaqbalah (Bersama Islam menuju Indonesia Masa Depan)
·
Tahta Zhilalir Risalah
(Di Bawah Naungan Risalah)
·
Zayyinud Dunya bi A’malikum Wa Adhiul ‘Ashra bi Imanikum (Hiasi Dunia dengan Amal Kalian dan Sinari Masa dengan Iman
Kalian)
·
Ahyu Ruhul Mitsaliyah Wat Tadhiyah Marratan Ukhra (Hidupkan Kembali Semangat Keteladanan dan Pengorbanan)
·
Al Islam Wa Hurriyatul Fikr (Islam dan Kebebasan Berfikir)
·
Al Islam Ka Asasid Daulah
(Islam Sebagai Dasar Negara)
·
Islam sebagai Idiologi
·
Al Qalaqur Ruhi Fi Dirayil Gharb (Kegelisahan Batin di Negeri-negeri Barat)
·
Al Masjid wal Qur’an Wal Indhibath (Masjid, Qur’an, dan Kedisiplinan)
·
Ats Tsaqafah Al Islamiah
E.
Kesimpulan
Muhammad Natsir
merupakan salah satu tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, pemikirannya yang
paling terkenal adalah tentang Ideologi dasar Negara, menurutnya Islam
merupakan sebuah agama sangat sempurna dan multifungsional dengan Al-Qur’an
sebagai sumber utamanya. Jadi akan sangat tepat jika Islam dijadikan Dasar
Negara Indonesia yang mayoritasnya adalah Muslim. Menurutnya, hanya ada dua
jalan bagi masyarakat Indonesia yaitu memilih Islam yang artinya menjadikan
Islam sebagai Ideologi Indonesia ataupun memisahkan agama dan Negara yang
berarti memilih Atheis
Dalam bidang
pendidikan beliau mengemukakan agar tidak ada pemisahan antara Ilmu umum dan
Ilmu Agama, kedua pengetahuan tersebut haruslah disatukan dan disejajarkan
karena menurutnya tidak ada suatu ilmu yang bisa berdiri sendiri.
[2] ibid.
[3] Dzulfikriddin,
M. (2010). Mohammad Natsir dalam
Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde
Indonesia (dalam
bahasa Indonesian). Bandung: Mizan, hal. 19-20
[4]
Luth, Thohir (1999)…, hal. 23-24
[5] Ibid. hal. 27
[6]
Luth, Thohir (1999)…, hal. 23-24
[7]
Noer, Deliar (2012). In Jaap Erkelens. Mohammad Hatta:Hati Nurani Bangsa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hal. 155
[8]
Fadillah, Ramadhian (April 2013). "Mengenang
M Natsir, ulama besar dan sebenar-benarnya jihad". Dalam Merdeka.
[9]
Luth, Thohir (1999)…, hal. 24-25
[10]
Noer, Deliar (2012)…, hal. 124-128
[11]
Khouw, Ida Indawati (Agustus 2008). "In
search of Mohammad Natsir's spirit in Islamic Revivalism". Dalam The Jakarta
Post
[12]
Luth, Thohir (1999)…, hal. 25-26
[13]
Fadillah, Ramadhian (April 2013)…
[14] ,
Deliar (2012)…, hal. 169-171
[15] Hasanalbanna.com
[16]
Supardi (2006) Konsep Negara Menurut Mohammad Natsir Dan
Upaya Mewujudkannya Di Indonesia (1928 – 1959). Skripsi
[17] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16149/5/Chapter%20I.pdf.Pemikiran
Politik Natsir.
[18]
Nasar, M. Fuad (Desember 2009) “Profil Pahlawan Kemerdekaan Nasional”, dalam
Jurnal Ikhlas Beramal, hal. 29
[19]
Nata, Abuddin (1995) Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta; Gaya Media Pratama, hal. 81
[20] http://NGOPI.COM%20%20Telaah%20Pemikiran%20Muhammad%20Natsir.htm
[21] Hasanalbanna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar