Sebuah Artikel/Opini Antropologi
Agama
Oleh Zulfitra AJ
ATURAN
LARANGAN DUDUK NGANKANG
(Jika dilihat dari beberapa Sudut Pandang)
Aturan larangan duduk ngangkang
merupakan sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe
pada tanggal 2 Januari 2013. Aturan tersebut dimaksudkan oleh Wali Kota Lhokseumawe
bagi kaum hawa agar tidak duduk mengangkang ketika sedang memboncengi
kereta/sepeda motor. Aturan ini merupakan keputusan bersama antara Walikota
Lhokseumawe Suaidi Yahya, Ketua DPR Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus, Ketua MPU
Kota Lhokseumawe Drs. Tgk H. Asnawi Abdullah, Ketua MAA Kota Lhokseumawe Tgk. H
Usman Budiman
Bagaikan “bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki”, aturan
tersebut langsung menjadi isu hangat dan krusial di Aceh khususnya Kota Lhokseumawe.
Tak hanya di media arus utama, di media sosial seperti facebook dan twitter pun
banyak yang membincangkannya. Di kampus, kantor, pasar, dan juga di kedai-kedai
kopi yang memang banyak tersebar di seluruh Aceh. Bahkan sangking banyaknya
media-media yang “menghalaman pertamakan”
berita ini, maka semakin tersebar hingga keluar Aceh sehingga juga menjadi
berita penting di tingkat Nasional. Terutama setelah MUI memberikan dukungannya
terhadap keputusan yang ditetapkan Pemerintah Kota Lhokseumawe.
Banyak
kalangan memberikan pendapat tentang aturan tersebut. Namun sebagian besar
pendapat tersebut besifat kritikan (menolak) tentang akan berlakunya aturan
tersebut. Kalangan pengecam banyak datang dari LSM-LSM, baik LSM lokal maupun
yang berpusat di Jakarta. Bahkan LSM-LSM tersebut bergabung dan membentuk
sebuah Komunitas yang diberi nama Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah
(JMSPS). Selain dari Lembaga Swadaya Masyarakat, ada juga PBNU (Pengurus Besar
Nahdulatul Ulama) yang ikut memberikan pendapat tentang hal ini.
Adapun mereka yang menolak mempunyai
alasan (pandangan) yang berbeda-beda, ada yang mengatakan melanggar HAM seperti
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyrakat), Komunitas untuk
Indonesia yang Adil dan Setara (KIAS) mengatakan hal ini dapat membahayakan
keselamatan perempuan , sementara NU berpendapat itu sebagai aturan yang
mengada-ada (tidak mempunyai sumber hukum).
Oleh karena beberapa alasan yang
dikemukan diatas, maka kami merasa terpanggil dan mencoba mengkaji hal tersebut
lebih dalam dengan melihat aturan tersebut dari beberapa sudut pandang,
Aspek-aspek yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain :
A.
Aspek
Hukum Islam
Salah
satu karakter Islam adalah sifatnya yang dinamis. Hal tersebut tampak dari
keluasan ajaran-ajarannya yang dapat dipakai oleh siapa pun, di mana pun, dan
kapan pun. Secara historis, Islam pada mulanya memang turun
di masyarakat Arab. Namun demikian pada dasarnya Islam bukanlah untuk
masyarakat Arab saja, akan tetapi Islam turun untuk memberi pencerahan bagi
seluruh alam hingga hari kiamat. Berkenaan dengan hal tersebut, timbul permasalahan
karena setting masyarakat
selalu berbeda dari satu waktu ke waktu yng lain. Sedangkan Islam dituntut
untuk dapat selalu up to date dengan
setiap masyarakat yang ada.
Berkaitan dengan aturan duduk ngangkang banyak pihak
(salah satunya PBNU) yang mengklaim bahwa aturan tersebut tidak mempunyai
sumber hukum yang jelas dalam Islam. NU malah berkata itu sebagai aturan yang
mengada-ada karena tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Namun
pihak yang berpendapat seperti itu mungkin lupa bahwa sumber hukum Islam itu
tidak hanya Al-Qur’an dan Hadist, akan tetapi juga ada Ijma’ para ulama dan
Qiyas.
Hal-hal
khusus seperti aturan larangan duduk ngangkang sudah barang tentu tidak diatur
dalam Al-Qur’an yang bersifat Universal dan Dinamis. Dan tentunya juga tidak
ada dalam hadist Nabi karena ini merupakan hal baru yang timbul dalam dunia
modern, secara akal sehat juga dapat kita pahami bahwa mana mungkin Nabi
Muhammad mengeluarkan aturan (hukum) tentang bagaimana tata cara mengendarai
kereta/sepeda motor, sementara pada masa itu belum ada sepeda motor.
Jika dalam 2 sumber hukum tertinggi
dalam Islam tidak terdapat referensi tentang aturan larangan duduk ngangkang,
maka umat Islam disarankan untuk mengikuti Ijma’ para ulama dan hukum qiyas dan
jikapun tidak ada maka dapat diputuskan melaui Ijtihad.
Jika kita mencermati dengan mendalam
tentang aturan larangan duduk ngangkang yang dewasa ini santer beredar di
media, maka kita akan dapat menarik kesimpulan tentang apa yang menjadi sumber
hukum dikeluarkannya peraturan tersebut. Pertama kita dapat melihat aturan
tersebut di setujui oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Lhokseumawe.
Bukankah MPU merupakan tempat berhimpunnya para Ulama. Dan bukankah keputusan
para ulama disebut Ijma’. Dan bahkan keputusan tersebut direstui oleh MUI yang
merupakan lembaga Perhimpunan Ulama tertinggi di Indonesia. Apakah hal itu
belum bisa dijadikan sumber hukum?
Jika uraian diatas belum bisa
dijadikan sumber hukum yang kuat, maka kita dapat menela’ahnya melalui sebuah
kaidah hukum yang menyatakan Setiap umat
muslim wajib mematuhi dan mengikuti pemimpin yang beriman. Dan aturan
tersebut sudah menjadi sebuah hukum yang berlaku untuk daerah Lhokseumawe
karena dikelurkan oleh Pemimpin mereka yang sudah terlebih dahulu
mendiskusikannya dengan para Ulama setempat.
B.
Aspek
Hukum Indonesia dan HAM
Sebagai
Negara hukum, Indonesia mempunyai sebuah acuan hukum yang komplek dan
menyeluruh. Acuan hukum tersebut dinamakan dengan Pancasila dan UUD ‘45 sebagai
turunannya. Dalam pancasila terdapat sila “Kemanusiaan yang adil dan berdadab”
dan sila “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” yang menjadi sumber hukum
untuk menjamin hak warga Negara. Dan kedua sila itu pula yang menjadi dasar
hukum untuk Hak Asasi Manusia (HAM).
Kemudian
lebih terperinci diatur dalam UUD ’45 pasal 27-34 tentang bagaimana hak dan
kewajiban seorang warga Negara. Pasal 28I ayat 1 dalam UUD ’45 yang mengatur
hak-hak warga Negara dapat dijadikan sumber hukum tentang HAM dalam kasus aturan
larangan duduk ngangkang yang dikeluarkan Pemko Lhokseumawe.
“Hak untuk mempunyai hak milik pribadi, hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
(UUD ’45 pasal 28I ayat 1)
Atas
dasar itulah banyak LSM-LSM yang mengatakan aturan yang dikeluarkan Pemko
Lhokseumawe merupakan sebuah tindakan yang melanggar HAM. Namun jika mereka
lebih cermat, pasti mereka tidak berani
menyimpulkan demikian. Mungkin mereka lupa bahwa setiap ada hak akan selalu
disertai kewajiban. Bagaimana dan apa saja kewajiban seorang warga Negara yang
diatur dalam UUD ’45?
Pasal
27 ayat 1 “Wajib mena’ati hukum dan pemerintahan” :
segala warga Negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.
Pasal
28J ayat 2 “Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan yang ditetapkan
dengan Undang-undang”.
Dari ayat-ayat diatas dapat kita
ketahui bahwa untuk warga Lhokseumawe wajib mengikuti ketetapan yang
dikeluarkan oleh Pemko Lhokseumawe karena itu merupakan sebuah pembatasan hak
yang dikeluarkan pemerintah. Setiap
manusia dimuka bumi mempunyai hak dan kebebasan untuk mengatur jalan hidupnya,
akan tetapi harus sesuai dengan kaedah-kaedah dan norma yang berlaku.
Kemudian apakah keputusan Pemko
Lhokseumawe itu melanggar hukum? Apa yang menjadi sumber hukum Pemko
Lhokseumawe sehingga bisa mengeluarkan aturan tersebut? Keputusan tersebut merupakan
tindak lanjut dari Qanun (Perda) Nomor 14 tahun 2003 tentang Syariah Islam di
Aceh. Dan Qanun tersebut mempunyai pijakan hukum pada Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.
Pemerintah
Aceh bisa mengeluarkan sebuah aturan/hukum sendiri asalkan tidak bertentangan
dengan hukum nasional. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Dan jika menilik aturan yang dikeluarkan Pemko
Lhokseumawe maka isi/ketetapannya tidak bertentangan dengan salah satu hukum di
Indonesia, bahkan sesuai dengan Qanun Syariah Islam. Oleh karena itu aturan
larangan duduk ngangkang tidak melanggar HAM dan singkron dengan Hukum
Indonesia.
C.
Aspek
Akhlak
Islam
itu syamil (sempurna), dia bukan hanya berbicara tentang shalat sahaja, tetapi
setiap lini kehidupan semua nya diatur oleh islam, mulai dari bangun tidur
sampai tidur lagi semua ada ataran adab dan akhlak nya. Jika dilihat dari sudut
pandang akhlak, kita pasti mengakui peraturan itu sangat bagus, karena duduk
menyamping itu lebih sopan daripada ngangkang.
Memang tidak ada ayat
yang mengatakan "dilarang ngangkang di kereta", namun ada sebuah
kaidah dari usul fiqh yaitu "al adatu
muhkamat" artinya setiap adat yang baik itu boleh menjadi hukum, dan
kita semua mengetahui jikalau duduk menyamping itu lebih sopan daripada
ngangkang. Jadi aturan tersebut sangat bagus untuk memperbaiki ahklak
masyarakat Aceh khususnya Lhokseumawe yang mulai rusak karena terpengaruh oleh
arus globalisasi.
D.
Aspek
Historis (Sejarah dan Budaya)
Dalam
menyikapi imbauan yang di keluarkan Pemko Lhokseumawe banyak kalangan yang
mengeluarkan suaranya. Sangat menarik ketika ada sebuah statemen yang
mengatakan “ketika masa Nabi saja para wanita duduk ngangkang krtika mereka
mengendarai Unta/kuda”. Namun jika kita tanyakan dimana mereka melihatnya dan
apa yang dijadikan referensinya? Maka tidak akan ada kecuali di film-film fiksi
yang pernah mereka nonton. Tidak ada satu riwayat pun yang mengatakan perempuan
pada masa Nabi duduk mengangkang di atas unta/kuda.
Malah sebaliknya, cukup banyak riwayat
shahih yang mengatakan pada zaman Nabi atau sesudahnya diatas unta ada sebuah
tandu yang oleh masyarakat Arab menyebutnya dengan “Haudasy”. Dan unta yang mempunyai haudasy (tandu) diatasnya
diperuntukkan bagi para wanita dan orang tua/sakit.
Sebagai
contoh kita dapat melihat ketika perang Jamal, yaitu perang yang terjadi antara
Ali dengan Aisyah. Dalam perang tersebut Aisyah dan pasukannya mengendarai unta
sehingga dinamakan perang jamal (unta). Dan riwayat-riwayat shahih menyebutkan
bahwa Aisyah duduk diatas haudasy. Tidakkah perilaku seorang Ummul Mukminin
(Istri Nabi) dapat dijadikan contoh budaya yang baik dan sesuai dengan Islam!
Kemudian
bagaimana dengan budaya masyarakat Aceh itu sendiri. Secara historis kita dapat
melihat bahwa pada zaman dahulu para wanita Aceh menggunakan sarung ataupun kain
yang dililitkan melingkar sepanjang pinggang sampai kaki untuk menutupi aurat.
Dan jika ada yang memakai celana panjang (kalangan kerajaan) pasti akan memakai
kain melinggkar sampai batas lutut di luarnya, atau oleh orang Aceh menamakan
kain tersebut dengan “songket” .
Walaupun kita tidak menemukan hukum-hukum kerajaan Aceh pada masa dahulu yang
mengatur tata cara mengendarai sebuah kendaraan baik kuda, gajah, sepeda maupun
sepeda motor, akan tetapi secara akal kita bisa memahami bahwa tidak mungkin
seseorang yang menggunakan sarung/kain dapat duduk mengangkang ketika
mengendarai kuda, gajah, sepeda/motor. Bagaimana mungkin seseorang yang
menggunakan kain songket yang sangat ketat dapat mengangkang waktu
berboncengan.
Selanjutnya keputusan tersebut juga ikut
ditanda tangani oleh Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Lhokseumawe sebagai
ketua lembaga adat tertinggi di Lhokseumawe. Tentu sebelum menandatanganinya
mereka akan terlebih dahulu mempelajari isi peraturan tersebut dan mengkajinya
apakah sesuai dan tidak bertentangan dengan Adat Aceh khususnya adat masyarakat
Lhokseumawe. Dan dari persetujuan mereka dapat disimpulkan bahwa aturan
larangan duduk ngangkang diatas kereta tidaklah bertentangan dengan budaya
masyarakat Aceh.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan
beberapa kajian tentang aturan larangan duduk ngangkang yang dilihat dari
beberapa sudut pandang, yaitu dari kacamata hukum islam, hukum Indonesia,
pendekatan Akhlak dan aspek historis (sejarah dan budaya). Maka keputusan
Pemerintah Kota Lhokseumawe merupakan sebuah keputusan yang tepat, dan baik
serta benar.
Keputusan
tersebut sesuai dengan hukum Islam, tidak melanggar hukum Indonesia, dan
mempunyai efek yang bagus untuk perbaikan Akhlak, serta tidak bertentangan
dengan budaya masyarakat Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar