Translate

Minggu, 16 Februari 2014

ATURAN LARANGAN DUDUK NGANKANG

Sebuah Artikel/Opini Antropologi Agama
Oleh Zulfitra AJ
ATURAN LARANGAN DUDUK NGANKANG
(Jika dilihat dari beberapa Sudut Pandang)

            Aturan larangan duduk ngangkang merupakan sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe pada tanggal 2 Januari 2013. Aturan tersebut dimaksudkan oleh Wali Kota Lhokseumawe bagi kaum hawa agar tidak duduk mengangkang ketika sedang memboncengi kereta/sepeda motor. Aturan ini merupakan keputusan bersama antara Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya, Ketua DPR Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus, Ketua MPU Kota Lhokseumawe Drs. Tgk H. Asnawi Abdullah, Ketua MAA Kota Lhokseumawe Tgk. H Usman Budiman
            Bagaikan “bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki”, aturan tersebut langsung menjadi isu hangat dan krusial di Aceh khususnya Kota Lhokseumawe. Tak hanya di media arus utama, di media sosial seperti facebook dan twitter pun banyak yang membincangkannya. Di kampus, kantor, pasar, dan juga di kedai-kedai kopi yang memang banyak tersebar di seluruh Aceh. Bahkan sangking banyaknya media-media yang “menghalaman pertamakan” berita ini, maka semakin tersebar hingga keluar Aceh sehingga juga menjadi berita penting di tingkat Nasional. Terutama setelah MUI memberikan dukungannya terhadap keputusan yang ditetapkan Pemerintah Kota Lhokseumawe.
Banyak kalangan memberikan pendapat tentang aturan tersebut. Namun sebagian besar pendapat tersebut besifat kritikan (menolak) tentang akan berlakunya aturan tersebut. Kalangan pengecam banyak datang dari LSM-LSM, baik LSM lokal maupun yang berpusat di Jakarta. Bahkan LSM-LSM tersebut bergabung dan membentuk sebuah Komunitas yang diberi nama Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS). Selain dari Lembaga Swadaya Masyarakat, ada juga PBNU (Pengurus Besar Nahdulatul Ulama) yang ikut memberikan pendapat tentang hal ini.
            Adapun mereka yang menolak mempunyai alasan (pandangan) yang berbeda-beda, ada yang mengatakan melanggar HAM seperti Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyrakat), Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara (KIAS) mengatakan hal ini dapat membahayakan keselamatan perempuan , sementara NU berpendapat itu sebagai aturan yang mengada-ada (tidak mempunyai sumber hukum).
            Oleh karena beberapa alasan yang dikemukan diatas, maka kami merasa terpanggil dan mencoba mengkaji hal tersebut lebih dalam dengan melihat aturan tersebut dari beberapa sudut pandang, Aspek-aspek yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain :
A.    Aspek Hukum Islam
            Salah satu karakter Islam adalah sifatnya yang dinamis. Hal tersebut tampak dari keluasan ajaran-ajarannya yang dapat dipakai oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.  Secara historis, Islam pada mulanya memang  turun di masyarakat Arab. Namun demikian pada dasarnya Islam bukanlah untuk masyarakat Arab saja, akan tetapi Islam turun untuk memberi pencerahan bagi seluruh alam hingga hari kiamat. Berkenaan dengan hal tersebut, timbul permasalahan karena setting masyarakat selalu berbeda dari satu waktu ke waktu yng lain. Sedangkan Islam dituntut untuk dapat selalu up to date dengan setiap masyarakat yang ada.
            Berkaitan dengan aturan duduk ngangkang banyak pihak (salah satunya PBNU) yang mengklaim bahwa aturan tersebut tidak mempunyai sumber hukum yang jelas dalam Islam. NU malah berkata itu sebagai aturan yang mengada-ada karena tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Namun pihak yang berpendapat seperti itu mungkin lupa bahwa sumber hukum Islam itu tidak hanya Al-Qur’an dan Hadist, akan tetapi juga ada Ijma’ para ulama dan Qiyas.
Hal-hal khusus seperti aturan larangan duduk ngangkang sudah barang tentu tidak diatur dalam Al-Qur’an yang bersifat Universal dan Dinamis. Dan tentunya juga tidak ada dalam hadist Nabi karena ini merupakan hal baru yang timbul dalam dunia modern, secara akal sehat juga dapat kita pahami bahwa mana mungkin Nabi Muhammad mengeluarkan aturan (hukum) tentang bagaimana tata cara mengendarai kereta/sepeda motor, sementara pada masa itu belum ada sepeda motor.
            Jika dalam 2 sumber hukum tertinggi dalam Islam tidak terdapat referensi tentang aturan larangan duduk ngangkang, maka umat Islam disarankan untuk mengikuti Ijma’ para ulama dan hukum qiyas dan jikapun tidak ada maka dapat diputuskan melaui Ijtihad.
            Jika kita mencermati dengan mendalam tentang aturan larangan duduk ngangkang yang dewasa ini santer beredar di media, maka kita akan dapat menarik kesimpulan tentang apa yang menjadi sumber hukum dikeluarkannya peraturan tersebut. Pertama kita dapat melihat aturan tersebut di setujui oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Lhokseumawe. Bukankah MPU merupakan tempat berhimpunnya para Ulama. Dan bukankah keputusan para ulama disebut Ijma’. Dan bahkan keputusan tersebut direstui oleh MUI yang merupakan lembaga Perhimpunan Ulama tertinggi di Indonesia. Apakah hal itu belum bisa dijadikan sumber hukum?
            Jika uraian diatas belum bisa dijadikan sumber hukum yang kuat, maka kita dapat menela’ahnya melalui sebuah kaidah hukum yang menyatakan Setiap umat muslim wajib mematuhi dan mengikuti pemimpin yang beriman. Dan aturan tersebut sudah menjadi sebuah hukum yang berlaku untuk daerah Lhokseumawe karena dikelurkan oleh Pemimpin mereka yang sudah terlebih dahulu mendiskusikannya dengan para Ulama setempat.
B.     Aspek Hukum Indonesia dan HAM
Sebagai Negara hukum, Indonesia mempunyai sebuah acuan hukum yang komplek dan menyeluruh. Acuan hukum tersebut dinamakan dengan Pancasila dan UUD ‘45 sebagai turunannya. Dalam pancasila terdapat sila “Kemanusiaan yang adil dan berdadab” dan sila “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” yang menjadi sumber hukum untuk menjamin hak warga Negara. Dan kedua sila itu pula yang menjadi dasar hukum untuk Hak Asasi Manusia (HAM).
Kemudian lebih terperinci diatur dalam UUD ’45 pasal 27-34 tentang bagaimana hak dan kewajiban seorang warga Negara. Pasal 28I ayat 1 dalam UUD ’45 yang mengatur hak-hak warga Negara dapat dijadikan sumber hukum tentang HAM dalam kasus aturan larangan duduk ngangkang yang dikeluarkan Pemko Lhokseumawe.
Hak untuk mempunyai hak milik pribadi, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” (UUD ’45 pasal 28I ayat 1)
Atas dasar itulah banyak LSM-LSM yang mengatakan aturan yang dikeluarkan Pemko Lhokseumawe merupakan sebuah tindakan yang melanggar HAM. Namun jika mereka lebih cermat, pasti  mereka tidak berani menyimpulkan demikian. Mungkin mereka lupa bahwa setiap ada hak akan selalu disertai kewajiban. Bagaimana dan apa saja kewajiban seorang warga Negara yang diatur dalam UUD ’45?
Pasal 27 ayat 1 “Wajib mena’ati hukum dan pemerintahan” :
segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.
Pasal 28J ayat 2 “Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan yang ditetapkan dengan Undang-undang”.
            Dari ayat-ayat diatas dapat kita ketahui bahwa untuk warga Lhokseumawe wajib mengikuti ketetapan yang dikeluarkan oleh Pemko Lhokseumawe karena itu merupakan sebuah pembatasan hak yang dikeluarkan pemerintah. Setiap manusia dimuka bumi mempunyai hak dan kebebasan untuk mengatur jalan hidupnya, akan tetapi harus sesuai dengan kaedah-kaedah dan norma yang berlaku.
            Kemudian apakah keputusan Pemko Lhokseumawe itu melanggar hukum? Apa yang menjadi sumber hukum Pemko Lhokseumawe sehingga bisa mengeluarkan aturan tersebut? Keputusan tersebut merupakan tindak lanjut dari Qanun (Perda) Nomor 14 tahun 2003 tentang Syariah Islam di Aceh. Dan Qanun tersebut mempunyai pijakan hukum pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.
            Pemerintah Aceh bisa mengeluarkan sebuah aturan/hukum sendiri asalkan tidak bertentangan dengan hukum nasional. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Dan jika menilik aturan yang dikeluarkan Pemko Lhokseumawe maka isi/ketetapannya tidak bertentangan dengan salah satu hukum di Indonesia, bahkan sesuai dengan Qanun Syariah Islam. Oleh karena itu aturan larangan duduk ngangkang tidak melanggar HAM dan singkron dengan Hukum Indonesia.

C.    Aspek Akhlak
Islam itu syamil (sempurna), dia bukan hanya berbicara tentang shalat sahaja, tetapi setiap lini kehidupan semua nya diatur oleh islam, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi semua ada ataran adab dan akhlak nya. Jika dilihat dari sudut pandang akhlak, kita pasti mengakui peraturan itu sangat bagus, karena duduk menyamping itu lebih sopan daripada ngangkang.
Memang tidak ada ayat yang mengatakan "dilarang ngangkang di kereta", namun ada sebuah kaidah dari usul fiqh yaitu "al adatu muhkamat" artinya setiap adat yang baik itu boleh menjadi hukum, dan kita semua mengetahui jikalau duduk menyamping itu lebih sopan daripada ngangkang. Jadi aturan tersebut sangat bagus untuk memperbaiki ahklak masyarakat Aceh khususnya Lhokseumawe yang mulai rusak karena terpengaruh oleh arus globalisasi.


D.    Aspek Historis (Sejarah dan Budaya)
Dalam menyikapi imbauan yang di keluarkan Pemko Lhokseumawe banyak kalangan yang mengeluarkan suaranya. Sangat menarik ketika ada sebuah statemen yang mengatakan “ketika masa Nabi saja para wanita duduk ngangkang krtika mereka mengendarai Unta/kuda”. Namun jika kita tanyakan dimana mereka melihatnya dan apa yang dijadikan referensinya? Maka tidak akan ada kecuali di film-film fiksi yang pernah mereka nonton. Tidak ada satu riwayat pun yang mengatakan perempuan pada masa Nabi duduk mengangkang di atas unta/kuda.
Malah sebaliknya, cukup banyak riwayat shahih yang mengatakan pada zaman Nabi atau sesudahnya diatas unta ada sebuah tandu yang oleh masyarakat Arab menyebutnya dengan “Haudasy”. Dan unta yang mempunyai haudasy (tandu) diatasnya diperuntukkan bagi para wanita dan orang tua/sakit.
Sebagai contoh kita dapat melihat ketika perang Jamal, yaitu perang yang terjadi antara Ali dengan Aisyah. Dalam perang tersebut Aisyah dan pasukannya mengendarai unta sehingga dinamakan perang jamal (unta). Dan riwayat-riwayat shahih menyebutkan bahwa Aisyah duduk diatas haudasy. Tidakkah perilaku seorang Ummul Mukminin (Istri Nabi) dapat dijadikan contoh budaya yang baik dan sesuai dengan Islam!
Kemudian bagaimana dengan budaya masyarakat Aceh itu sendiri. Secara historis kita dapat melihat bahwa pada zaman dahulu para wanita Aceh menggunakan sarung ataupun kain yang dililitkan melingkar sepanjang pinggang sampai kaki untuk menutupi aurat. Dan jika ada yang memakai celana panjang (kalangan kerajaan) pasti akan memakai kain melinggkar sampai batas lutut di luarnya, atau oleh orang Aceh menamakan kain tersebut dengan “songket” . Walaupun kita tidak menemukan hukum-hukum kerajaan Aceh pada masa dahulu yang mengatur tata cara mengendarai sebuah kendaraan baik kuda, gajah, sepeda maupun sepeda motor, akan tetapi secara akal kita bisa memahami bahwa tidak mungkin seseorang yang menggunakan sarung/kain dapat duduk mengangkang ketika mengendarai kuda, gajah, sepeda/motor. Bagaimana mungkin seseorang yang menggunakan kain songket yang sangat ketat dapat mengangkang waktu berboncengan.
Selanjutnya keputusan tersebut juga ikut ditanda tangani oleh Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Lhokseumawe sebagai ketua lembaga adat tertinggi di Lhokseumawe. Tentu sebelum menandatanganinya mereka akan terlebih dahulu mempelajari isi peraturan tersebut dan mengkajinya apakah sesuai dan tidak bertentangan dengan Adat Aceh khususnya adat masyarakat Lhokseumawe. Dan dari persetujuan mereka dapat disimpulkan bahwa aturan larangan duduk ngangkang diatas kereta tidaklah bertentangan dengan budaya masyarakat Aceh.




E.     Kesimpulan
Berdasarkan beberapa kajian tentang aturan larangan duduk ngangkang yang dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu dari kacamata hukum islam, hukum Indonesia, pendekatan Akhlak dan aspek historis (sejarah dan budaya). Maka keputusan Pemerintah Kota Lhokseumawe merupakan sebuah keputusan yang tepat, dan baik serta benar.

Keputusan tersebut sesuai dengan hukum Islam, tidak melanggar hukum Indonesia, dan mempunyai efek yang bagus untuk perbaikan Akhlak, serta tidak bertentangan dengan budaya masyarakat Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar