Artikel
:Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia
by Zulfitra AJ
ISLAM DI INDONESIA DI AWAL ABAD 21
Salah
satu karakter Islam adalah sifatnya yang dinamis. Hal tersebut tampak dari
keluasan ajaran-ajarannya yang dapat dipakai oleh siapa pun, di mana pun, dan
kapan pun. Secara historis, Islam pada
mulanya memang turun di masyarakat Arab. Namun demikian pada
dasarnya Islam bukanlah untuk masyarakat Arab saja, akan tetapi Islam turun
untuk memberi pencerahan bagi seluruh alam hingga hari kiamat. Berkenaan dengan
hal tersebut, timbul permasalahan karena setting masyarakat selalu berbeda dari satu waktu ke waktu
yng lain. Sedangkan Islam dituntut untuk dapat selalu up to date dengan setiap
masyarakat yang ada. Dengan demikian diperlukan adanya reinterpretasi terhadap
sumber-sumber ajaran Islam agar dapat didialogkan dengan setiap masyarakat yang
dihadapinya.
A.
Pengaruh
Globalisasi Terhadap Pemikiran Islam
Isu seputar globalisasi mulai marak
sekitar dekade 1990-an, pada masa ini sering disebut sebagai zaman globalisasi
(the age of globalization). Globalisasi merupakan suatu pandangan masyarakat global
yang merujuk pada perkembangan tatanan kehidupan, mulai dari perkembagan sektor
perekonomian, perdagangan dan teknologi informasi. Namun, perkembangan itu tidak selalu merujuk pada hal-hal
positif saja, banyak dampak-dampak negatif globalisasi di rasakan masyarakat.
Globalisasi selalu dihubungkan
dengan modernisasi dan modernism. Para pakar budaya mengatakan bahwa ciri khas
modernisasi dan manusia modern itu adalah tingkat berfikir, iptek, dan sikapnya
terhadap penggunaan waktu dan penghargaan terhadap karya manusia. Globalisasi bertujuan mengubah pemikiran masyarakat yang
tradisional menuju masyarakat modern. Atau disebut modernisasi. Salah satu
elemen penting untung penunjang modernisasi ini adalah media, dalam banyak cara yang bersifat mendasar, media
adalah dinamika sentral. Sifat media yang sentral dapat diterima dengan luas
dan cepat, contohnya
televisi, dan internet. Yang dimana dengan adanya telivisi
ataupun internet ini apabila ada
issu-issu terbaru dunia atau semacamya akan begitu cepat tersebar didunia.
Seiring
dengan perkembangan zaman ini, Indonesia pun sebagai Negara yang berpenduduk
mayoritas muslim dan salah satu Negara tengah berkembang ikut terlibat dalam
arus globalisasi ini. Dampaknya dapat kita lihat dengan lahirnya
intelektual-intelektual muda muslim yang bersifat modernis. Hal ini juga erat
kaitannya dengan tumbangnya Rezim Orde Lama (Era Soeharto) yang mulanya mengekang
Islam dengan kekuasaan diktatornya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fuad Imron
dalam tesisnya “Di Indonesia, Islam kembali menemukan
momentum untuk bangkit setelah Soeharto lengser dari kedudukannya. Para
intelektual Islam menggunakan momen keterbukaan yang ada untuk mendirikan
partai-partai politik, ormas, publikasi media, dan organisasi-organisasi payung
untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Perkembangan Islam di
Indonesia mengalami kemajuan yang lebih cepat daripada masa sebelumnya.
Dinamisasi Islam yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari munculnya para
intelektual muda yang mengenyam pendidikan barat. Sepulang dari barat, mereka
berusaha menerjemahkan pemikirannya dalam alam Indonesia yang majemuk”. Lahirnya
para pemikir modernis tersebut menunjukkan dinamisasi Islam di Indonesia
sehingga melahirkan Pembaharuan pemikiran Islam.
Jika
pada masa pasca kemerdekaan umat Islam memperjuangkan Islam melalui politik
dengan tujuan mendirikan Negara Islam, maka pada zaman globalisasi intelektual
muslim mengubah pola pikirnya dengan menjadikan masyarakat sebagai target
dakwah dengan alasan jika masyarakat Indonesia sudah memahami tentang Islam
secara menyeluruh maka dengan sendirinya Indonesia akan menjadi Negara Islam.
Seperti kutipan pemikiran Nurcholis Madjid yang dikatakan Abdul
Qodir, dalam
bukunya Jejak langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di
Indonesia, eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam
yang intrinsik, dalam iklim politik Indonesia lebih penting dan sangat memadai
untuk mengembangkan islamisasi dalam wajah kulturalisasi masyarakat Indonesia
modern. Proses Islamisasi seharusnya mengambil bentuk kulturalisasi, bukan
politisasi. Dengan demikian gerakan-gerakan Islam sebaiknya menjadi gerakan
budaya daripada menjadi gerakan politik.
Dari uraian diatas kita
dapat memahami bahwa pada zaman ini Islam sedang membangun sebuah fondasi Islam
yang berilmu pengetahuan yang sekarang lebih dikenal dengan nama fase Islam
yang berilmu pengetahuan.
B. Pengaruh Barat (Islam Liberal)
Jika dampak positif dari
arus globalisasi bagi umat Islam Indonesia adalah adanya perubahan pola pikir
yang dulunya bersifat tradisional menjadi lebih modernis, maka dampak negative
dari perubahan zaman tersebut adalah munculnya faham liberalis dikalangan
pemikir Islam. Hal ini tidak terlepas
dari munculnya intelektual-intelektual muda muslim yang mengenyam pendidikan di
Barat.
Sejak
akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri
kelompok “Islam Liberal” yang mencoba memberikan respon terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama
Indonesia melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh
kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005
mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme merupakan
paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam
haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama.
Hal
tersebut sempat sedikit membingungkan, karena saya melihat modernis dan
liberalis sangat erat hubungannya, dan juga sebagian penulis buku mengatakan tokoh-tokoh
modernis islam seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman wahid, Syafi’i Ma’arif,
Harun Nasution dll, oleh sebagian penulis buku lainnya di klaim sebagai
kelompok pemikir liberal.
Namun
setelah melihat pengertian kata liberal yang dimaksudkan oleh MUI yaitu memahami
nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas,
dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran
semata. Barulah saya memahami adanya perbedaan antara tujuan dari tokoh-tokoh
tersebut dengan pemahaman yang diterima oleh masyarakat.
C. Pengaruh Organisasi Islam
Interrnasional yang masuk ke Indonesia
Pasca
tumbangnya Soeharto dan bergulirnya reformasi, Indonesia menjadi sebuah Negara
yang terbuka. Peluang emas inilah yang dijadikan era kebangkitan kembali bagi
organisasi-organisasi Islam yang pernah mundur bahkan mati (bubar). Momen ini
pula yang menjadi waktu masuk dan berkembang organisasi-organisasi Islam
Internasional seperti Hizbut Tahrir (HTI) dan Ikhwanul Muslimin.
Hizbut
Tahrir masuk ke Indonesia dengan membawa misi mereka yaitu berdirinya kembali
Khilafah Islamiyah, hal ini hampir memiliki kesamaan dengan tujuan para
tokoh-tokoh Islam pasca kemerdekaan Indonesia yaitu mendirikan Negara Islam.
Bedanya adalah jika para tokoh tersebut menginginkan Indonesia sebagai sebuah
Negara Islam yang berdiri sendiri sedangkan HTI ingin Indonesia menjadi sebuah
Daulah Islamiyah bagi seluruh dunia atau minimal menjadi bagian dari Daulah
Islamiyah jika suatu hari nanti berdiri Khalifah Ismamiyah di sebuah Negara. Di
luar Indonesia (jazirah arab) organisasi ini di larang karena melakukan
pergerakan yang ekstrim dengan tuduhan upaya pengkudetaan terhadap Pemerintah
yang tidak bersifat seperti Khalifah Islamiyah pada masa Rasulullah-Turki
Usmani. Berbeda dengan HTI, Ikhwanul Muslimin sedikit lebih moderat karena mau
menerima Negara nasional. Namun subtasi perjuangan formalisasi syari’at tetap
mempunyai kesamaan.
D. Gerakan Wanita (Feminisme/Gender)
Jika
melihat dari sejarahnya, gerakan wanita sudah muncul pada awal abad ke 20,
yaitu ditandai lahirnya organisasi-organisasi kewanitaan pada masa itu seperti Wanita
Oetomo, Aisyah, Putri Indonesia. PPI, dll. Dari organisasi-organisasi itu pula
lahir tokoh-tokoh wanita di Indonesia seperti R.A. Kartini, Putri Mardika, Dewi
Sartika, Maria Ulfah, SK Trimurti, dll. Gerakan wanita ini mulai menunjukkan
perannya ketika mereka mengeluarkan pendapat tentang poligami pada tahun
1930-an.
Pada
era orde lama perempuan mulai diberikan peran oleh pemerintah dengan
dibentuknya PKK, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Dharma Wanita. Disini
wanita dijadikan sebagai pendamping suami dengan wewenang hanya sebatas
pengatur perempuan-perempuan yang menjadi istri bawahan suaminya. Artinya
jabatan/peran wanita (istri) selalu bergantung pada laki-laki (suaminya).
Dikarenakan
peran yang terbatas tersebut pada tahun 1985 mulai terjadi gerakan emasipasi
wanita. Dan pada tahun 1990 terjadi pergeseran isu dan orientasi pergerakan
perempuan dengan terangkat isu kesetaraan gender yaitu penyamaan hak antara
laki-laki dan perempuan. Dikarenakan perempuan menuntut hak lebih maka hal ini
mulai menjadi isu hangat bagi para tokoh-tokoh LSM untuk menganalisis lebih
mendalam tentang isu kesetaraan gender tersebut.
Feminisme/gender
menjadi isu krusial dan paling banyak diperdebatkan ketika tahun 1997 hasil
Munas NU memperbolehkan wanita berkiprah dalam politik. Namun pada tahun 1999,
MUI mengeluarkan fatwa bahwa perempuan tidak boleh menjadi Pemimpin. Banyak
para tokoh-tokoh elit politik maupun tokoh agama yang mengeluarkan pendapatnya
seperti Amin Rais mengatakan jika masih ada lelaki yang becus dia tidak akkan
pernah memilih perempuan.
Perdebatan
semakin memanas ketika Megawati menjadi Presiden RI. Kelompok yang memperjuangkan
perempuan sampai membuat Counter Legal Draft KHI-nya yang menggunakan analisis
gendernya untuk menkritisi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Justru yang lucu adalah
pendapat Hamzah Haz ketika dia menjadi wakil Megawati, dia mengatakan karena
Indonesia bukan Negara Islam jadi tidak ada larangan perempuan menjadi
Presiden, padahal sebelumnya dia dengan tegas mengatakan Perempuan tidak boleh
menjadi presiden karena Indonesia berpenduduk mayoritas Islam.
Perjuangan
perempuan masih terus berlanjut untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan
gender, termasuk kuota 30% pun merupakan hasil perjuangan perempuan yang cukup
panjang dan sangat melelahkan, dan juga UU KDRT No 23/2004, yang memberi
peluang untuk dapat menciptakan hukum yang lebih adil khususnya bagi perempuan,
karena pasal-pasal yang ada dalam UU ini secara keseluruhan mengedepankan pola
relasi kemanusiaan dan kebersamaan antara suami istri, bahwa suami istri tidak
boleh saling menyakiti dan melakukan tindak kekerasan baik fisik, psikis,
seksual dan penelantaran rumah tangga, agar terwujud keluarga yang sakinah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar