Translate

Minggu, 16 Februari 2014

ISLAM DI INDONESIA DI AWAL ABAD 21

Artikel :Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia
by Zulfitra AJ
ISLAM DI INDONESIA DI AWAL ABAD 21
Salah satu karakter Islam adalah sifatnya yang dinamis. Hal tersebut tampak dari keluasan ajaran-ajarannya yang dapat dipakai oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.  Secara historis, Islam pada mulanya memang  turun di masyarakat Arab. Namun demikian pada dasarnya Islam bukanlah untuk masyarakat Arab saja, akan tetapi Islam turun untuk memberi pencerahan bagi seluruh alam hingga hari kiamat. Berkenaan dengan hal tersebut, timbul permasalahan karena setting masyarakat selalu berbeda dari satu waktu ke waktu yng lain. Sedangkan Islam dituntut untuk dapat selalu up to date dengan setiap masyarakat yang ada. Dengan demikian diperlukan adanya reinterpretasi terhadap sumber-sumber ajaran Islam agar dapat didialogkan dengan setiap masyarakat yang dihadapinya.

A.    Pengaruh Globalisasi Terhadap Pemikiran Islam
Isu seputar globalisasi mulai marak sekitar dekade 1990-an, pada masa ini sering disebut sebagai zaman globalisasi (the age of globalization). Globalisasi merupakan suatu pandangan masyarakat global yang merujuk pada perkembangan tatanan kehidupan, mulai dari perkembagan sektor perekonomian, perdagangan dan teknologi informasi. Namun, perkembangan itu tidak selalu merujuk pada hal-hal positif saja, banyak dampak-dampak negatif globalisasi di rasakan masyarakat.
Globalisasi selalu dihubungkan dengan modernisasi dan modernism. Para pakar budaya mengatakan bahwa ciri khas modernisasi dan manusia modern itu adalah tingkat berfikir, iptek, dan sikapnya terhadap penggunaan waktu dan penghargaan terhadap karya manusia. Globalisasi bertujuan mengubah pemikiran masyarakat yang tradisional menuju masyarakat modern. Atau disebut modernisasi. Salah satu elemen penting untung penunjang modernisasi ini adalah media, dalam banyak cara yang bersifat mendasar, media adalah dinamika sentral. Sifat media yang sentral dapat diterima dengan luas dan cepat, contohnya televisi, dan internet. Yang dimana dengan adanya telivisi ataupun internet ini  apabila ada issu-issu terbaru dunia atau semacamya akan begitu cepat tersebar didunia.
Seiring dengan perkembangan zaman ini, Indonesia pun sebagai Negara yang berpenduduk mayoritas muslim dan salah satu Negara tengah berkembang ikut terlibat dalam arus globalisasi ini. Dampaknya dapat kita lihat dengan lahirnya intelektual-intelektual muda muslim yang bersifat modernis. Hal ini juga erat kaitannya dengan tumbangnya Rezim Orde Lama (Era Soeharto) yang mulanya mengekang Islam dengan kekuasaan diktatornya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fuad Imron dalam tesisnya “Di Indonesia, Islam kembali menemukan momentum untuk bangkit setelah Soeharto lengser dari kedudukannya. Para intelektual Islam menggunakan momen keterbukaan yang ada untuk mendirikan partai-partai politik, ormas, publikasi media, dan organisasi-organisasi payung untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Perkembangan Islam di Indonesia mengalami kemajuan yang lebih cepat daripada masa sebelumnya. Dinamisasi Islam yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari munculnya para intelektual muda yang mengenyam pendidikan barat. Sepulang dari barat, mereka berusaha menerjemahkan pemikirannya dalam alam Indonesia yang majemuk”. Lahirnya para pemikir modernis tersebut menunjukkan dinamisasi Islam di Indonesia sehingga melahirkan Pembaharuan pemikiran Islam.
Jika pada masa pasca kemerdekaan umat Islam memperjuangkan Islam melalui politik dengan tujuan mendirikan Negara Islam, maka pada zaman globalisasi intelektual muslim mengubah pola pikirnya dengan menjadikan masyarakat sebagai target dakwah dengan alasan jika masyarakat Indonesia sudah memahami tentang Islam secara menyeluruh maka dengan sendirinya Indonesia akan menjadi Negara Islam. Seperti kutipan pemikiran Nurcholis Madjid yang dikatakan Abdul Qodir, dalam bukunya Jejak langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinsik, dalam iklim politik Indonesia lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan islamisasi dalam wajah kulturalisasi masyarakat Indonesia modern. Proses Islamisasi seharusnya mengambil bentuk kulturalisasi, bukan politisasi. Dengan demikian gerakan-gerakan Islam sebaiknya menjadi gerakan budaya daripada menjadi gerakan politik.
Dari uraian diatas kita dapat memahami bahwa pada zaman ini Islam sedang membangun sebuah fondasi Islam yang berilmu pengetahuan yang sekarang lebih dikenal dengan nama fase Islam yang berilmu pengetahuan.

B.     Pengaruh Barat (Islam Liberal)
Jika dampak positif dari arus globalisasi bagi umat Islam Indonesia adalah adanya perubahan pola pikir yang dulunya bersifat tradisional menjadi lebih modernis, maka dampak negative dari perubahan zaman tersebut adalah munculnya faham liberalis dikalangan pemikir Islam.  Hal ini tidak terlepas dari munculnya intelektual-intelektual muda muslim yang mengenyam pendidikan di Barat.
Sejak akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri kelompok “Islam Liberal” yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama Indonesia melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama.
Hal tersebut sempat sedikit membingungkan, karena saya melihat modernis dan liberalis sangat erat hubungannya, dan juga sebagian penulis buku mengatakan tokoh-tokoh modernis islam seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman wahid, Syafi’i Ma’arif, Harun Nasution dll, oleh sebagian penulis buku lainnya di klaim sebagai kelompok pemikir liberal.
Namun setelah melihat pengertian kata liberal yang dimaksudkan oleh MUI yaitu memahami nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Barulah saya memahami adanya perbedaan antara tujuan dari tokoh-tokoh tersebut dengan pemahaman yang diterima oleh masyarakat.

C.    Pengaruh Organisasi Islam Interrnasional yang masuk ke Indonesia
Pasca tumbangnya Soeharto dan bergulirnya reformasi, Indonesia menjadi sebuah Negara yang terbuka. Peluang emas inilah yang dijadikan era kebangkitan kembali bagi organisasi-organisasi Islam yang pernah mundur bahkan mati (bubar). Momen ini pula yang menjadi waktu masuk dan berkembang organisasi-organisasi Islam Internasional seperti Hizbut Tahrir (HTI) dan Ikhwanul Muslimin.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia dengan membawa misi mereka yaitu berdirinya kembali Khilafah Islamiyah, hal ini hampir memiliki kesamaan dengan tujuan para tokoh-tokoh Islam pasca kemerdekaan Indonesia yaitu mendirikan Negara Islam. Bedanya adalah jika para tokoh tersebut menginginkan Indonesia sebagai sebuah Negara Islam yang berdiri sendiri sedangkan HTI ingin Indonesia menjadi sebuah Daulah Islamiyah bagi seluruh dunia atau minimal menjadi bagian dari Daulah Islamiyah jika suatu hari nanti berdiri Khalifah Ismamiyah di sebuah Negara. Di luar Indonesia (jazirah arab) organisasi ini di larang karena melakukan pergerakan yang ekstrim dengan tuduhan upaya pengkudetaan terhadap Pemerintah yang tidak bersifat seperti Khalifah Islamiyah pada masa Rasulullah-Turki Usmani. Berbeda dengan HTI, Ikhwanul Muslimin sedikit lebih moderat karena mau menerima Negara nasional. Namun subtasi perjuangan formalisasi syari’at tetap mempunyai kesamaan.

D.    Gerakan Wanita (Feminisme/Gender)
Jika melihat dari sejarahnya, gerakan wanita sudah muncul pada awal abad ke 20, yaitu ditandai lahirnya organisasi-organisasi kewanitaan pada masa itu seperti Wanita Oetomo, Aisyah, Putri Indonesia. PPI, dll. Dari organisasi-organisasi itu pula lahir tokoh-tokoh wanita di Indonesia seperti R.A. Kartini, Putri Mardika, Dewi Sartika, Maria Ulfah, SK Trimurti, dll. Gerakan wanita ini mulai menunjukkan perannya ketika mereka mengeluarkan pendapat tentang poligami pada tahun 1930-an.
Pada era orde lama perempuan mulai diberikan peran oleh pemerintah dengan dibentuknya PKK, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Dharma Wanita. Disini wanita dijadikan sebagai pendamping suami dengan wewenang hanya sebatas pengatur perempuan-perempuan yang menjadi istri bawahan suaminya. Artinya jabatan/peran wanita (istri) selalu bergantung pada laki-laki (suaminya).
Dikarenakan peran yang terbatas tersebut pada tahun 1985 mulai terjadi gerakan emasipasi wanita. Dan pada tahun 1990 terjadi pergeseran isu dan orientasi pergerakan perempuan dengan terangkat isu kesetaraan gender yaitu penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dikarenakan perempuan menuntut hak lebih maka hal ini mulai menjadi isu hangat bagi para tokoh-tokoh LSM untuk menganalisis lebih mendalam tentang isu kesetaraan gender tersebut.
Feminisme/gender menjadi isu krusial dan paling banyak diperdebatkan ketika tahun 1997 hasil Munas NU memperbolehkan wanita berkiprah dalam politik. Namun pada tahun 1999, MUI mengeluarkan fatwa bahwa perempuan tidak boleh menjadi Pemimpin. Banyak para tokoh-tokoh elit politik maupun tokoh agama yang mengeluarkan pendapatnya seperti Amin Rais mengatakan jika masih ada lelaki yang becus dia tidak akkan pernah memilih perempuan.
Perdebatan semakin memanas ketika Megawati menjadi Presiden RI. Kelompok yang memperjuangkan perempuan sampai membuat Counter Legal Draft KHI-nya yang menggunakan analisis gendernya untuk menkritisi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Justru yang lucu adalah pendapat Hamzah Haz ketika dia menjadi wakil Megawati, dia mengatakan karena Indonesia bukan Negara Islam jadi tidak ada larangan perempuan menjadi Presiden, padahal sebelumnya dia dengan tegas mengatakan Perempuan tidak boleh menjadi presiden karena Indonesia berpenduduk mayoritas Islam.

Perjuangan perempuan masih terus berlanjut untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, termasuk kuota 30% pun merupakan hasil perjuangan perempuan yang cukup panjang dan sangat melelahkan, dan juga UU KDRT No 23/2004, yang memberi peluang untuk dapat menciptakan hukum yang lebih adil khususnya bagi perempuan, karena pasal-pasal yang ada dalam UU ini secara keseluruhan mengedepankan pola relasi kemanusiaan dan kebersamaan antara suami istri, bahwa suami istri tidak boleh saling menyakiti dan melakukan tindak kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga, agar terwujud keluarga yang sakinah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar